“Dari sana, bu.”
“Dari mana Nak? Ibu tidak pernah mengajari kamu berbohong.”
“Hm, aku dari rumah Ayah.”
Suasana menjadi hening. Sebelum akhirnya ibu menunduk dan
terisak.
“Kenapa Ibu menangis?”
Ibu tidak menjawab. Sampai beberapa lama.
“Sudah berapa kali ibu melarang kamu untuk menemuinya?”
“Tapi, Bu…”
“Tidak ada tapi. Tak pernahkah kamu memikirkan perasaan ibu?”
“Kenapa Ibu bicara seperti itu? Aku tidak tahu harus
bagaimana bu? Dia ayahku, dan ibu adalah ibuku. Salahkah aku menemuinya?”
“Kamu tidak salah. Ayahmu yang salah.”
“Ayah salah apa?”
“Kamu tidak perlu tahu Nak.”
“Aku harus tahu bu, Aku sudah dewasa sekarang. Ibu selalu
membagi kebahagiaan untuk ku, tapi harus ibu tahu, aku juga ingin ibu membagi
kesedihan ibu.”
Seketika menjadi sunyi. Hanya ada suara hembusan dari AC
yang ada di sudut ruangan.
“Jangan menangis Bu. Maafkan aku.”
“Ibu hanya tak habis pikir. Dulu, saat ibu dan ayahmu
bercerai, dia menyerahkan kamu dan kedua adikmu kepada ibu. Saat itu kamu baru
kelas 5 SD, adikmu kelas 3 SD dan adik bungsu mu baru umur 5 tahun. Dia tak mau
direpotkan membawa kalian bersamanya, curang. Dia melenggang seorang diri. Dia
juga membawa semua uang tabungan. Lalu dia menikah lagi dengan wanita lain.
Indah sekali hidupnya, jadi pengantin baru lagi. Sementara ibu di sini harus
berjuang menghidupi kamu dan adik-adikmu.”
“Maafkan aku bu.”
“Apa kamu tidak ingat? Sewaktu kamu masih SMP, kamu ingin
menemui ayah mu, itu sulit sekali. Dia jarang ada di rumah bersama istri
barunya. Bahkan untuk sekedar memberi uang untuk membeli buku pelajaran kamu
saja, dia enggan.”
“Iya, Bu, aku masih ingat itu.”
“Setiap malam ibu menangis. Ibu takut anak-anak ibu
kelaparan. Apapun ibu kerjakan asalkan halal, yang penting kita bisa makan. Ibu
sedih, setiap hari kita hanya makan beras miskin (raskin), karena hanya beras
raskin itu yang mampu ibu beli di ketua RT. Kita makan telur dadar satu untuk
berempat. Kadang ibu lebih memilih untuk tidak makan, asal kalian makan. Perih
sekali hati ibu nak. Bukan perih karena berpisah dan diterlantarkan oleh
ayahmu, ibu perih karena ibu tak mampu membahagiakan kalian. Kalian sudah
seperti anak-anak busung lapar waktu itu, badan kalian kurus-kering tapi perut
kalian buncit.
Tapi ibu tak pernah menyerah, ibu yakin, ibu bisa
menghantarkan kalian kepada kesuksesan dan kebahagiaan.
Setiap kali ibu mendengar nama ayah kalian, sakit hati ibu
selalu muncul kembali. Ibu ingat dia selalu menfitnah ibu selingkuh, padahal Wallahi, ibu tak pernah dekat dengan
pria lain. Saat dia menceraikan ibu, dia berkata di depan nenek: ‘lihat saja, setelah kamu cerai denganku,
pasti kamu akan jadi pelacur’. Sungguh, kata-kata itu masih terngiang di
telinga ibu. Ayahmu juga pernah memukul ibu dengan alu, hanya karena adik
bungsumu menangis terus setiap malam. Dia ingin melempar adikmu, tapi ibu
halangi, dia pun marah dan memukul ibu dengan alu, sampai ibu pingsan.
Terlalu banyak ucapan dan perbuatannya yang membuat ibu
sakit hati. Meski ibu sudah memaafkannya, tapi ibu belum mampu melupakannya.
Lihat saja, istri barunya yang dulu dia bangga-banggakan,
kini malah pergi tanpa kabar, tanpa belas kasihan meninggalkan dua anak mereka,
setelah tahu ayahmu tak punya uang lagi atau mungkin setelah tahu sifat asli
ayahmu itu.
Ayahmu yang dulu enggan direpotkan untuk membawa anak,
sekarang malah jadi orang tua tunggal dari seorang anak balita dan seorang bayi
yang baru berusia delapan bulan. Entah, mungkin tuhan sedang menghukumnya. Allah
memang tuhan yang sangat adil.
Sekarang, setelah kalian dewasa, kalian sudah lulus kuliah,
kalian sudah bekerja, dia ingat kepada kalian, menghubungi kalian terus. Dia
merengek-rengek ingin bertemu kalian. Dulu
dia kemana saja?
Dia mengatakan kepada semua orang ‘Lihatlah, anak-anakku sudah sukses. Berpendidikan. Berkat saya.’
Sakit hati ibu mendengar semua itu. Orang mengira dia
berjasa, membesarkan kalian hingga kalian jadi seperti sekarang ini. Padahal,
semua itu adalah perjuangan ibu. Tapi biarlah, biarkan hanya Allah yang tahu
dan biarlah waktu yang menyampaikan kebenaran. Ibu juga sudah tidak terlalu
peduli dengan penilaian dari orang lain. Mementingkan omongan orang lain tak
akan memberi kita makan saat kita lapar.
Ibu beruntung saat itu, almarhum bapakmu (ayah tiri), mau
menikahi ibu yang janda beranak tiga ini. Dia mau mengimami ibu dalam berjuang
menghidupi kalian, menghantarkan kalian jadi seperti sekarang ini.
Ibu tak meminta kalian memutuskan hubungan dengan ayah
kalian, bagaimanapun dia adalah ayah kalian. Ibu hanya meminta agar kalian
tidak terlalu intens dengannya. Temuilah seperti dulu dia menemui kalian hanya
untuk ‘bertemu’.”
-Al Muh-
Temuilah, hanya untuk ‘bertemu’
Reviewed by Al Muh
on
15.30.00
Rating:

Tidak ada komentar: