Tak ada yang indah saat terjebak lalu lintas yang macet. Kecuali sebuah toko di dekat persimpangan jalan. Tokonya tidak terlalu besar, tapi didesain dengan sangat apik. Sebagian besar toko itu berbahan kaca dengan kerangka kayu dan baja ringan. Bagian
atapnya, aku menduga mungkin terbuat dari fiber jernih dengan tambahan jaring-jaring
penghalau sinar matahari. Di dalam toko itu terlihat bunga-bunga yang sangat
indah. Berwarna-warni mengalahkan warna mobil-mobil mewah yang berderet
sepanjang jalan. Toko itu memiliki sebuah pintu, berada di bagian tengah muka
toko. Di samping kiri dan kanan pintu, ada rak berisi pot-pot dengan bunga yang
tumbuh subur. Ku rasa itu bunga anggrek, aku bisa lihat bunganya menjuntai, dan
bunga lainnya yang tidak aku kenali. Di atas pintu, ada papan yang bertuliskan
“Toko Bunga Alexandra”.
![]() |
Source://ruangtani.com |
Terkadang
pintu depan itu tidak ditutup. Hingga aku bisa melihat ke dalam, meski hanya
dari kejauhan di jalan raya. Bunga-bunga seperti mawar, lili, sedap malam,
sudah dirangkai sedemikian rupa, di bungkus dengan plastik, dijajarkan di rak
bagian dalam toko dan siap untuk dijual. Kadang aku juga melihat seorang kakek
yang sedang menyirami bunga-bunga di rak luar. Pasti itu adalah pemiliknya, ku
tebak. Terlihat dari caranya merawat bunga-bunga itu, begitu tulus. Dia
berpakaian sederhana, sebuah kemeja safari putih dan bawahan celana pendek. Dia
juga memakai sepatu boot berwarna hitam, tapi sudah agak pudar warnanya hingga
terlihat seperti abu-abu. Tangan kirinya memegang alat penyiram yang bentuknya
mirip teko raksasa, sementara tangan kanannya memegang sebuah gunting kecil
yang sesekali beliau gunakan untuk memotong daun rusak atau ranting yang sudah
tua.
Setiap
hari, saat melewati toko bunga itu, aku selalu melihat bunga-bunga begitu segar
dalam rangkaian. Padahal secara logika, sebagian besar bunga akan terlihat
segar hanya dalam waktu sehari setelah di petik. Selanjutnya bunga akan layu
dan membusuk. Tapi bunga-bunga yang ada di toko itu selalu segar setiap harinya.
Aku bertanya-tanya: Apa mungkin si kakek itu selalu mengganti bunganya dengan
bunga yang baru setiap hari? Tapi beliau kemanakan bunga-bunga yang kemarin? Laku
terjual? Selama ini, setiap aku lewat, aku tak pernah melihat ada pembeli datang
ke toko itu. Jadi kemana bunga-bunga itu jika tidak terjual?
Semakin
hari, aku jadi semakin penasaran. Karena hanya toko itu dan bunga-bunganya yang
selalu membuat hati terasa damai meski dalam kemacetan parah. Kalau saja
sepanjang jalan ibu kota terdapat toko bunga seperti itu.
Aku
memutuskan untuk mampir, mungkin membeli setangkai mawar merah untuk ibuku. Siapa
tahu, aku bisa sedikit mengobrol dengan si kakek. Aku memasang lampu sein
dan berbelok menuju halaman toko. Halaman tokonya tidak terlalu luas, tapi
cukup untuk parkir beberapa sepeda motor dan sebuah mobil. Samar-samar di balik
bunga-bunga yang ada di rak depan, terlihat si kakek sedang asyik di dalam merangkai
bunga-bunganya. Pintu depan tertutup, lalu aku menarik tuas pintunya dan
sedikit dorongan ke dalam.
Tring…
Terdengar suara lonceng kecil berbunyi di atas pintu. Rupanya si kakek memasang
lonceng di atas pintu untuk menandakan ada seseorang masuk ke tokonya.
Dia
menorah dan tersenyum ke arahku.
“Cari
bunga nak?” Si kakek bertanya.
“Iya
Kek.”
“Untuk
kekasih?” Dia tersenyum.
“Oh
tidak, untuk ibuku.”
Si
kakek mengedarkan pandangannya ke rak. “Mungkin mawar putih itu akan cocok.”
“Kurasa.
Berapa harganya?”
“15.000
rupiah.”
Si
kakek berjalan menuju rak untuk mengambil setangkai mawar putih tadi. Langkah
si kakek tak sebagus senyumannya. Tapi masih cukup gagah untuk seorang kakek
yang ku duga usianya sudah 70 tahunan.
“Aku
sering lewat sini Kek.”
“Oh
ya?” Si Kakek menjawab dengan nada antusias. Senyuman tersungging memancarkan
sisa-sisa kharismanya. Kakek ini sudah tua tapi beliau terlihat begitu segar
dan bersemangat. Mungkin bunga-bunganya selalu menebarkan energi positif kepada
si kakek.
“Iya
kek, aku bekerja di Pejaten. Aku sering melihat tokomu dari jalan. Tapi baru
kali ini aku sempat mampir.”
“Ya,
mulai sekarang mampirlah sesukamu. Ku rasa aku akan senang.”
“Terima
kasih Kek. Aku melihat bunga-bunga di toko mu selalu segar Kek, apa kau selalu
mengganti bunga dengan yang baru setiap hari?”
“Begitulah.
Aku punya sahabat di Puncak sana yang tak pernah bosan memasok bunga-bunga indah
setiap hari.”
“Hm,
lalu, apa bunga-bunganya terjual habis setiap hari?”
“Tidak.
Hanya beberapa tangkai saja yang terjual, sisanya aku simpan dalam tong di
belakang, sampai mereka busuk lalu jadi kompos. Setidaknya mereka tidak mati
sia-sia, mereka akan berguna untuk bunga yang lain sebagai pupuk.”
“Begitu
ya kek. Berarti, kau merugi setiap hari karena bungamu tidak terjual?”
“Rugi
secara materil, mungkin. Tapi aku menyukai bunga, bisa melihat mereka mekar
adalah keuntungan besar buat ku. Tak semua untung itu harus materil, benar?”
“Benar
kek. Oh ya, namaku Arial. Namamu Alexandra, kek?”
“Hm,
aku Ardhana. Alexandra adalah almarhum istriku.” Si Kakek menatapku. Seketika
matanya berkaca-kaca.
“Maafkan
aku kek. Aku tidak bermaksud…”
“Tak
apa nak. Ini adalah toko bunga milik Alexandra. Dia sangat mencintai bunga. Bunga
anggrek yang paling dia sukai. Dia sering ke toko ini tengah malam hanya untuk
melihat bunga anggreknya mekar. Mm, aku sangat bahagia ketika melihat Alexandra
tersenyum melihat bunga anggreknya mekar.”
Si
kakek menatap ke sudut toko. Di sana ada sebatang pohon yang sudah lapuk.
Terdapat lubang-lubang alami di sekujur pohon akibat pelapukan. Di setiap
lubang itu, tumbuh pohon anggrek yang begitu indah. Tapi sedang tidak berbunga.
“Toko bunga ini,” lanjut si kakek, “bunga anggrek itu, selalu mengingatkan ku
kepada Alexandra, seolah aku masih bisa melihatnya sedang memandangi
anggrek-anggreknya.”
“Anggrek
itu kek?” Aku menunjuk ke arah pohon lapuk.
“Iya,
itu adalah anggrek kesayangan Alexandra. Anggreknya hanya mekar di tengah
malam.”
“Hm,
Sayang sekali, aku tidak bisa melihat anggrek itu mekar.”
“Kau
harus sabar menunggu sampai tengah malam nanti untuk melihat indahnya bunga
anggrek itu mekar. Untuk mendapatkan sesuatu yang indah memang selalu butuh
kesabaran. Sama seperti halnya aku saat ini, sedang sabar menunggu kematian
agar bisa melihat indahnya senyum Alexandra lagi.”
Lelaki Tua Dan Anggrek
Reviewed by Al Muh
on
10.34.00
Rating:

Tidak ada komentar: