KAINAN
“Kenapa nona sebegitu sibuk mencari orang untuk mengemban
tugas itu?” Seorang pria berumur memecahkan kegamangan dengan suaranya yang
berat.
Wanita itu terdiam sejenak mendengar. “Sudah beberapa orang
melamar untuk menjalankan tugas ini, tapi aku tak yakin.” Jawab wanita itu
menghela napas dan merebahkan diri di sandaran sofa.
“Ku kira nona sudah mengenal orang itu.” Pria itu menatap.
“Jika aku sudah mengenalnya mungkin aku tak akan segusar ini
tuan.”
“Nona tidak pandai mendeteksi, nona mencari orang seperti
itu kemana-mana, tapi nona tidak sadar bahwa orang itu sudah ada di kantor
ini.”
“Maksudnya?”
“Nona benar-benar tidak tahu? Orang itu ada sudah bekerja
untuk nona, dia bekerja mungkin di kasta yang dianggap paling bawah di kantor
ini. Bekerja melayani mereka yang bekerja dengan latar katanya berpendidikan.”
“Aku tak mengerti tuan. Siapakah orang itu?”
“Kainan.”
“Kainan? Dia, bagaimana bisa? Dia hanya seorang office boy.”
“Benar yang kubilang? Mungkin dia berada di kasta yang
dianggap paling bawah di kantor ini. Nona tidak percaya kepadanya?”
Nona itu terdiam.
“Lantas kenapa nona tak meminta orang-orang di kantor nona
ini, mereka yang lulusan universitas bergensi, yang dianggap terpelajar dengan
segala kehormatannya?”
“Tugas ini lain tuan, tugas ini butuh rasa. Rasa yang
mungkin tak akan didapat dalam kampus setinggi langitpun.”
“Kalau begitu panggil Kainan untuk ke ruangan ini.” Pria itu
meminta.
“Apa itu harus?” Tanya si wanita ragu.
“Apa dia tak pantas menginjakan kaki di ruangan ini kecuali
untuk bersih-bersih?”
Si wanita tak menjawab. Dia mengangkat gagang telpon dan
berkata: Panggilkan Kainan ke ruangan saya sekarang.
Pemandangan dari dalam ruang kerja si wanita sang pemimpin
perusahaan, pada lantai 27 lebih bersih dari pada suasana kota di bawah. Sebagian
besar yang terlihat hanya langit dan pucuk-pucuk bangunan. Si wanita bahkan
mungkin belum pernah melihat suasana bawah. Dia selalu turun dari mobil mewah
dengan kacamata hitam, dibukakan pintu oleh sopirnya, lalu dia berjalan ke
dalam kantornya tanpa menyentuh tuas pintu sedikitpun. Karena semua pekerjaan
itu telah dilakukan oleh anak buahnya.
Butuh waktu beberapa menit untuk menunggu Kainan sampai di
ruangannya. Itu membuat si wanita gelisah. Terlalu lama baginya menunggu
seperti ini, apa lagi hanya menunggu seorang office boy. Dia pernah memanggil office boy ke ruangannya, tapi itu terpaksa karena ada gelas yang
tak sengaja dia senggol hingga jatuh, pecah berceceran di lantai.
Pintu ruangan di ketuk, dan seseorang masuk setelah dipersilahkan
masuk oleh si wanita. Dia adalah Leni sekretaris pribadi si wanita. Dia mengantarkan
Kainan sampai ke ruangan. Hanya itu, lalu Leni membungkuk dan keluar ruangan.
Si wanita tak bicara apa-apa, hanya menatap Kainan dengan
tak percaya sedikitpun. Si wanita itu mengelus kening, sebagai bentuk
ketidakyakinan dan ketidaksetujuannya atas apa yang dilakukan pria itu.
“Silahkan duduk Tuan Kainan.” Ucap si pria.
“Terima kasih pak.” Jawab Kainan yang ragu untuk duduk di
sofa bersama dengan pria itu. Dia hanya duduk sedikit di ujung sofa. “Ada yang
bisa saya bantu pak?”
Si pria menatap si wanita. Seolah memberikan kode bahwa ini
adalah bagian si wanita berbicara untuk menyampaikan tujuan. Tapi si wanita tak
mau menerima kode itu, dia masih menopang dagu dengan wajah tak bersemangat. Wajah
itu seolah berkata: teruskan saja bicaramu kepada Kainan, ini kan bukan ideku.
“Tuan Kainan, bolehkan saya meminta bantuan kepada anda?
Tolong bantu istri saya, dia baru saja kehilangan penulis inti di perusahaan
ini. Jika dalam beberapa bulan, buku itu tidak terbit, mungkin kami akan
bangkrut.”
Mendengar nada memohon dari si pria itu, si wanita langsung
tersentak, dia ingin marah. Seorang pemilik perusahaan mengemis bantuan kepada
seorang office boy. Hina sekali apa
yang suaminya lakukan.
“Apa yang kau perbuat tuan?” Tanya si wanita dengan nada
kesal. “Meminta bantuan seperti pengemis kepada seorang office boy?”
“Harusnya kau yang melakukan ini nona, bukan aku.”
“Untuk apa? Bisa apa si office
boy ini?”
“Kalau saya bisa membantu pasti akan saya bantu sebisa saya
pak.” Jawab Kainan tak bermaksud menengahi perdebatan kedua atasannya itu.
“Kau akan lebih membantu dengan keluar dari ruangan ini.”
Bentak si wanita kepada Kainan.
“Baik bu.” Kainan berdiri.
“Tunggu Tuan Kainan, aku mohon, bantulah istriku. Maafkan
ucapannya yang kasar kepada Tuan.”
“Tuan Kainan? Heuh… Apa-apaan kau ini? Menghinakan diri
sendiri di depan bawahanmu.” Pekik si wanita semakin kesal.
Si pria mengeluarkan sebuah buku tebal, buku yang sangat
laris di pasaran dekade terakhir. Buku yang fenomenal. Semua orang kenal buku
itu. Si wanita sangat mengagumi buku itu. Dia bahkan sudah mengkoleksi buku-buku
dengan penulis yang sama, Alexantria. Tapi sampai sekarang, si wanita belum
tahu siapa penulisnya. Meski dia selalu mencari tahu.
“Alexantria, kau suka bukunya nona?” Tanya si pria.
“Tentu saja, itu buku kesukaanku.” Jawabnya menahan rasa
kesal. “Itu buku yang sangat cerdas.”
“Buku ini lahir dari buah pikir sang office boy yang kau hinakan ini, Kainan Alexantria.”
AlMuh.
Kainan
Reviewed by Al Muh
on
20.04.00
Rating:

Tidak ada komentar: