Dering telpon membangunkanku dari tidur. Suasana begitu
sepi, kecuali suara telpon itu, berasal dari ruang perawat seberang ruanganku.
Aku bangkit dari tempat tidur, mengamati sekeliling. Pasien lain tengah tidur
pulas. Adikku tertidur lelap di kursi samping tempat tidurku. Kasihan, setiap
malam dia bergadang menjagaku di rumah sakit. Di tangan kiriku, infusan
menempel, lalu dengan sedikit usaha, aku meraih botol infusan yang digantung
pada tiang kecil di dekatku. Aku berjalan tertatih keluar ruangan menuju lorong
penghubung antara ruanganku dengan ruang perawat.
Telpon terus berdering, tapi tak ada tanda-tanda perawat
akan mengangkat telpon itu. Mungkin para perawat ketiduran. Aku mengintip dari
celah pintu, ternyata tak ada perawat seorang pun. Telpon itu seperti berteriak
memanggil para perawat. Sayangnya sampai beberapa saat kemudian, tak satu pun
perawat muncul.
Aku mengabaikan telpon itu, meski suaranya begitu memecah
keheningan. Sekarang pandanganku tertuju pada jendela-jendela lorong. Jendela
itu mengarah ke luar. Di siang hari, pemandangan perbukitan tersuguh di balik
jendela. Tapi saat malam seperti ini, itu tak lebih seperti kaca hitam pekat.
Tiba-tiba suara petir menggelegar, kilat menyala dari sisi
luar memperlihatkan hujan mengguyur lebat, diiringi suara angin kencang. Aku
mendekat ke arah jendela, yang terlihat hanya kegelapan. Sampai sebuah kilatan
besar menerangi gelapnya pemandangan di luar. Aku terkejut, pemandangan
perbukitan itu berubah menjadi lautan. Lalu terdengar sebuah dentuman keras.
Seperti suara benda besar bertumbukan. Lorong itu bergoyang hebat. Miring ke
kiri puluhan derajat, kemudian ke kanan, membuatku mual. Ketika kilat-kilat
berikutnya menerangi keadaan di luar, aku semakin terkejut, sekarang aku berada
dalam kapal di tengah badai hebat. Bukan lagi di rumah sakit. Lampu dan alaram
tanda keadaan darurat berbunyi saling bersahutan.
Dua orang perawat berlari dari lorong menuju ruang perawat.
Aku menyusul mereka sampai depan ruang perawat. Belum sempat aku masuk, dua
perawat itu sudah keluar lagi dengan kostum pelaut.
“Hei! Apa yang terjadi?” Tanyaku pada perawat.
“Kita sedang melewati badai, Pak.” Jawab salah satu perawat
setengah teriak. “Bersiap untuk tenggelam, Pak.” Lanjutnya sambil memberikan
aku pelampung kecil berwarna kuning.
Lorong itu semakin terombang-ambing.
“Kalian tidak membangunkan pasien lain?” Tanyaku sangat
bingung.
“Pasien apa, Pak? Kita sedang di kapal laut.”
“Ayo, cepat!” Kata perawat satu lagi. “Tak ada waktu lagi.”
Aku berlari mengikuti dua perawat itu. Tapi tak ada orang
lain yang ikut berlari keluar kapal. Hanya ada aku dan dua perawat aneh.
“Dimana yang lain?” Tanyaku lagi.
“Mereka sudah meninggalkan anda, Pak.”
Ketika tiba geladak kapal, aku bisa merasakan kencangnya
tiupan angin. Suara dua perawat tak bisa kudengar lagi. Angin seolah menelan
suara mereka, padahal mereka sudah berteriak-teriak. Air laut datang dan
menghantamku dengan keras. Aku terpelanting hingga tercebur ke laut.
Aku tidak bisa bernafas, telingaku pengang. Sayup-sayup
terdengar suara perawat wanita:
“Suntik obat dulu ya, Pak.”
“Obat apa itu, Suster?”
“Haloperidol, Pak.”
Bersambung…
NS - 5
Reviewed by Almuh
on
19.40.00
Rating:

Sudah jarang menulis sepertinya
BalasHapus